Deskripsi Buku Sunan Lawu; Jumbuhing Kawula Gusti Lepasnya Keakuan
Judul:
Sunan Lawu; Jumbuhing Kawula Gusti Lepasnya Keakuan
Penulis:
Hardono
Penerbit:
Media Edents Publika
Tebal:
xiv + 238 hlm/Bookpaper
Dimensi:
13,5 x 20cm
ISBN:
978-602-50528-6-6
EDENTS PUBLIKA,, Meski bernuansa subyektif, tulisan
sederhana ini bukan merupakan otobiografi, namun hanya sekelumit penggalan
hidup saya berupa pengalaman pribadi yang saya pikir barangkali bisa berguna
untuk orang banyak. Dengan latar belakang kehidupan saya yang biasa saja,
sederhana, “ndeso”, dan kurang berpengalaman, saya beranikan diri untuk menulis
kisah ini dengan bahasa yang sederhana, karena saya bukan anak sekolahan yang pandai
menulis. Ini semua diawali tatkala saya, tanpa dinyana dan disangka mengalami
peristiwa yang luar biasa, berupa pengalaman spiritual, di lereng Gunung Lawu
pada tahun 1985.
Pada
saat itu, saya pergi ke lereng Gunung Lawu sebenarnya tidak bermaksud
untuk melakukan tirakat atau mencari sesuatu, hanya sekadar ingin menceritakan tentang riwayat hidup kepada
seorang teman untuk
lebih saling mengenal. Niat saya, saat itu, seusai menceritakan
riwayat hidup saya,
saya berencana hendak pergi ke luar kota untuk mencari pekerjaan, namun kota mana yang
akan saya tuju pada waktu itu belum mempunyai
gambaran. Sebelum saya bercerita, terlontar pertanyaan dari
saya kepada teman itu, “jika kamu sebagai malaikat di dunia, dari riwayat hidupku ini nanti kira-kira saya masuk surga atau neraka ?”.
Mendengar pertanyaan itu, dia hanya diam dan tersenyum. Selanjutnya, mulailah saya menceritakan
riwayat hidup saya, dari sejak mulai
bisa berfikir sampai saya berumur 24 tahun. Ditengah-tengah cerita tentang kehidupan saya itu, dia merasa terharu dan meneteskan air matanya, bahkan sampai akhir ceritapun dia masih tetap
menangis. Setelah selesai
cerita saya, dia bertanya, habis ini kamu mau kemana? Saya jawab, saya tidak tahu kemana saya pergi, tapi yang jelas harus
pergi meninggalkan rumah
untuk mencari bekal hidup agar bisa mandiri.
Jawaban
yang saya berikan itu bersifat spontan, padahal dalam hati saya sebenarnya ingin
mencari kehidupan yang sejati, walau harus mengelilingi bumi Nusantara akan tetap saya cari, tetapi hal itu
tidak saya ceritakan kepada teman
itu. Entahlah apa yang yang sebenarnya terjadi, yang saya
ingat, tanpa saya sadari, tiba-tiba mulut
saya mengeluarkan kalimat La Ilaha Illallah. Berbarengan dengan itu datanglah petir, suaranya sangat menggelegar, setelah itu kesadaran saya seolah-olah melayang
jauh ke angkasa, diiringi getaran yang merasuk ke seluruh tubuh, kemudian muncul cahaya kemilau berwarna
kuning keemasan di langit dan sekelilingku. Setelah kejadian itu, saya pulang ke rumah, namun saya merasakan seakan-akan hendak meninggal dunia, sehingga saya
menyuruh kepada seluruh
keluarga untuk berkumpul
karena saya mau mati.
Tetapi ternyata saya tidak meninggal, mulai itu, kemudian
saudara-saudaraku menganggap saya mengalami dipresi yang berat.
Di
tengah ketidakpahaman tentang apa yang tengah terjadi pada diri saya pribadi,
saya mencoba untuk merenung dan mengkaji semuanya secara mendalam. Ternyata
rangkaian peristiwa itu merupakan sebuah pengalaman spiiritual yang saya alami. Hal ini tidak pernah saya ceritakan kepada siapapun, kecuali orang-orang yang paham tentang masalah ini. Saya juga tidak ingin dianggap menggurui orang lain. Saya lebih percaya
bertanya kepada diriku sendiri.
Sejak saat itu, saya menjadi rajin menjalankan
sholat, memperbanyak
sholat malam,
menjalankan puasa Nabi
Dawud (sehari puasa dan sehari tidak), dan saya juga
memutuskan tidak
jadi meninggalan rumah. Selama 40 hari, pasca kejadian itu, saya mengalami suatu keanehan yang ada dalam
diri saya. Salah satunya, saya jadi pandai bicara, padahal sebelumnya saya sangat pendiam dan pemalu. Berikutnya, agar lebih menenangkan
hati, saya memutuskan untuk melakukan tirakat di Pertapaan Pringgondani (lereng Gunung Lawu) selama 40 hari
dengan menjalani Puasa Mutih (hanya makan nasi dan air putih sekali di sore hari). Setelah selesai, saya juga mengalami sesuatu keanehan, dengan ijin Tuhan saya diberi kemampuan untuk menyembuhkan
berbagai macam penyakit.
Berangkat
dari berbagai pengalaman spiritual itu, selanjutnya saya sering mengunjungi petilasan-petilasan,
situs-situs, artefak-artefak yang banyak
tersebar di Gunung
Lawu dan
sekitarnya. Dari
itu, timbullah
keingintahuan saya mengenai berbagai hal yang bersangkutan dengan Gunung Lawu secara
jauh dan mendalam.
Apalagi saya
merupakan putra daerah yang lahir di Tawangmangu sehingga terdorong untuk
mengetahui potensi apa saja yang tersimpan di Gunung Lawu. Latar belakang saya, bukanlah seorang arkeologi, antropologi, javanologi, budayawan atau agamawan namun hanya orang biasa, layaknya seorang pertapa yang mengikuti naluri leluhur
dimana cara untuk menajamkan “rasa-nya” adalah dengan mendatangi/mempelajari
petilasan-petilasan sambil melakukan laku prihatin. Untuk itu saya mohon maaf
jika di dalam penuangan tulisan ini miskin referensi dan tidak mengikuti kaidah dunia akademis, seperti halnya penulisan sebuah karya ilmiah.
Dalam kajian saya, referensi yang saya gunakan adalah dengan mendatangi/mempelajari secara langsung terhadap petilasan-petilasan mulai dari petilasan yang ada di lereng, kaki, perut, jantung,
leher Gunung Lawu sampai kepala Gunung Lawu.
Itu saya lakukan
berulang kali sehingga banyak sekali pengalaman yang saya dapatkan selama dalam
pengembaraan dan penelusuran petilasan-petilasan yang ada. Oleh karena kebanyakan petilasan tersebut tidak bertuliskan kata-kata maka nama-nama tempat/lokasi, desa, sumber mata air, bukit, simbul situs, nama petilasan, cerita rakyat dan alam sekitarnya saya gunakan sebagai pendukung bahan renungan dalam memaknai sebuah petilasan. Dengan demikian, dalam membaca sebuah petilasan, saya lebih banyak
menggunakan penalaran melalui “bahasa rasa”.
Selama dalam penelusuran itu, saya merasa terkagum-kagum terhadap “ketinggian” budi luhur nenek moyang di
dalam memilih dan memilah tempat/lokasi dimana petilasan-petilasan itu dibangun, seperti memilih tempat/lokasi yang susah dijangkau atau susah didaki sehingga memerlukan suatu
perjuangan
tersendiri untuk mencapainya, namun sesampainya di tujuan, ternyata lokasi itu memang betul-betul menunjukkan suasana yang nyaman, tenang, tentram dan damai. Disinilah, bisa dipahami bahwa dengan menyatunya antra hati dengan alam sekelilingnya maka akan memudahkan untuk
mendapatkan pencerahan dan inspirasi. Dalam perkembangan di kemudian hari, tak heran jika tempat-tempat tersebut ramai
dikujungi banyak orang untuk berbagai macam
kepentingan. Seiring dengan berjalannya
sang waktu, laku prihatin saya di Gunung Lawu dan sekitarnya
itu akhirnya
mengkristal menjadi sebuah pemahaman tentang tafsir makna akan simbul-simbul yang ada di petilasan-petilasan
tersebut.
Ungkapan pengalaman
pribadi saya dalam berinteraksi secara fisik dan spiritul dengan lingkungan Gunung Lawu, yang juga merupakan
lingkungan hidup
saya dari lahir hingga kini, barangkali bisa menginspirasi anda. Alangkah senang hati saya apabila tulisan
ini bermanfaat positif bagi para pembaca. Namun demikian, bukan berarti untuk
mendapatkan hidayah dari Tuhan itu harus
pergi ke petilasan-petilasan seperti yang saya lakukan. Di tempat-tempat ibadahpun
juga bisa mendapatkan hidayah dari Tuhan, bahkan di rumahpun bisa mendapatkan hidayah dari Tuhan. Selamat membaca.
Hardono



0 Response to "Deskripsi Buku Sunan Lawu; Jumbuhing Kawula Gusti Lepasnya Keakuan"
Posting Komentar